- PANTAI SIDEM
- PANTAI CORO
- PANTAI POPOH
- PANTAI KLATHAK
- PANTAI SINE
- PANTAI SIDEM
- TELAGA BURET
- BENDUNGAN WONOREJO
- KAWASAN LAWEAN PENAMPIHAN SENDANG
- CANDI PENAMPIHAN
- GOA TAN TEK SUE
- GOA SELOMANGLENG
- CANDI DADI
- CANDI SANGGRAHAN
Di perkampungan nelayan ini wisatawan dapat menemukan industri rumah tangga dengan produk yang dihasilkan seperti berbagai ikan asin dan terasi vang telah dikemas rapi, serta siap untuk dibawa pulang sebagai buah tangan. Dari kampung nelayan di Pantai Sidem ini pula, dapat dinikmati PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air) yang diresmikan oleh Bapak Menteri Pertambangan dan Energi pada tahun 1994, dengan kemampuan sekitar 30 Mega Watt. Kedua lokasi wisata pantai ini dapat dicapai melalui jalan darat vang telah beraspal dengan baik dan hanya memerlukan waktu tempuh sekitar 30 menit dari kota Tulungagung.
Pantai ini memiliki panjang sekitar 400 meter, pasirnya berwarna putih dan tidak kalah dengan pantai lain yang ada di Jawa Timur dan pasirnya lembut dan bersih. Selain itu daya tarik lain pada pantai yang berjarak sekitar 1,5 Km dari padepokan Retjo sewu menuju ke timur ini keberadaannya masih alami dan belum banyak tergarap serta ombak pantai juga tidak terlalu besar. Lebih dari itu air laut pantai sangat jernih sehingga permukaan dasar laut bisa dilihat dengan mata telanjang, seperti semua karang dan tumbuhan laut.
Pantai Indah Popoh dilengkapi dengan sarana penginapan, pasar ikan, wisata bahari dan beberapa tempat yang asyik untuk memancing. Setiap bulan Suro(Muharam) diselenggarakan Upacara "Labuh Semboyo". Masih dikawasan Pantai Popoh dapat menikmati obyek wisata "Reco sewu" dan laut bebas. Di sepanjang perjalanan menuju Popoh (Boyolangu, Campurdarat, Besuki) terdapat kerajinan batu onix sebagai souvenir khas Tulungagung. Kita dapat menggunakan motor boat untuk menelusuri pantai sidem, Klatak, Gemah dan Bayeman.
Panta Klatak berada di wilayah desa Keboireng Kecamatan Besuki, pantai ini masih asli. Pemandangannya masih murni dan begitu indah. pantai ini belum tersentuk oleh investor.
Tidak jauh dari Pantai Popoh, terdapat obyek yang siap menanti para wisatawa, yaitu Pantai Sine. Bagi wisatawan yang gemar berjemur di pasir tidak usah jauh-jauh ke Bali, datang saja ke hamparan pasir di Pantai Sine Tulungagung. Pada cuaca yang cerah dari pantai ini kita dapat menyaksikan matahari terbit secara langsung. Disepanjang pantai selatan yang masuk wilayah Tulungagung.
Di pantai ini sudah banyak perkampungan nelayan, selain itu para wisatawan dapat menemukan industri rumah tangga dengan produk yang dihasilkan seperti berbagai ikan asin dan terasi vang telah dikemas rapi, serta siap untuk dibawa pulang sebagai buah tangan. Dari kampung nelayan di Pantai Sidem ini pula, dapat dinikmati PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air) yang diresmikan oleh Bapak Menteri Pertambangan dan Energi pada tahun 1994, dengan kemampuan sekitar 30 Mega Watt. Kedua lokasi wisata pantai ini dapat dicapai melalui jalan darat vang telah beraspal dengan baik dan hanya memerlukan waktu tempuh sekitar 30 menit dari kota Tulungagung.
Telaga Buret berada di Dusun Buret desa Sawo Kecamatan Campurdarat. Kondisi telaga ini masih asli. Pemandangannya masih murni dan begitu indah. Telaga buret merupakan tempat wisata yang mudah dijangkau alat transportasi.
Bendungan / waduk WONOREJO berada di desa Wonorejo Kec. Pagerwojo sebelah barat kota Tulungagung. Waduk ini debit 15.000 m3 per detik, berfungsi sebagai pembangkit tenaga listrik, pengairan, perikanan, olah raga air dan tempat rekreasi, yang dilengkapi dengan Gazebo, Home stay, Taman, area pemancingan, speed boad penginapan dan tempat pementasan seni tradisional.
Air terjun Lawehan salah satu potensi wisata Kabupaten Tulungagung, berada di dusun Turi, desa Geger, Kecamatan Sendang. Lebih kurang 25 km arah barat dari kota Tulungagung, yang merupakan bagian dari Lereng Wilis dengan ketinggian + 1.200 m diatas permukaan air laut. Untuk menuju lokasi harus berjalan kaki + 3 km melewati indahnya panorama perbukitan, dan sembilan kali menyeberangi sungai di hutan yang msih perawan. Menurut kepercayaan penduduk setempat, daerah ini dikuasai oleh Mbok Roro Dewi Gangga, Mbok Roro Cenethi, Mbok Roro Wilis, dan Mbok Roro Endang Sampur?. Penduduk setempat juga meyakini, Barang siapa yang mandi di air terjun ini akan sembuh dari penyakitnya. Karena khasnya jalan menuju obyek ini, yang naik, turun licin, curam dan menerobos semak belukar, maka sangat cocok bagi mereka yang suka tantangan dan pecinta alam. Aapalagi disekitar air terjun banyak tumbuh tanaman anggrek yang masih langka.
Disamping wisata alam, Kabupaten Tulungagung juga memiliki obyek wisata sejarah, salah satunya adalah Candi Penampehan. Candi Penampehan masih berada di Kecamatan Sendang, tepatnya di desa Geger. Untuk menuju lokasi tersebut dapat ditempuh dengan kendaraan roda dua maupun empat.Pada Candi berteras yang dilindungi pohon Kalpataru Purba ini, terdapat lempengan prasasti Raja Balitung abad IX yang menyebutkan adanya asrama empat kasta, yakni, patung Kili Suci, Asmorobangun, patung Padi, dan Tirta Amerta yang dipercaya dapat menyembuhkan berbagai penyakit.
Tidak jauh dari lokasi kedua obyek tersebut terdapat Goa Tan tek Sue. Goa ini biasanya banyak dikunjungi umat Khonghucu pada tiap hari besar agama Khonghucu. Bagi para pelancong rasanya belum lengkap kalau belum menikmati buah Durian yang banyak tumbah di daerah ini. Durian dari daerah ini dikenal dengan nama 'Durian Bajul'. Setelah lelah menikmati berbagai obyek, para pelancong dapat istirahat di penginapan Argo Wilis 'Genceng'. Udaranya yang sejuk dan pemandangan disekitar yang indah, membuat siapapun akan betah berlama-lama di penginapan tersebut.
Kompleks Goa Selomangleng yang menempati areal kehutanan di lingkungan BKPH Kalidawir, atau tepatnya di Dusun Sanggrahan Kidul, Desa Sanggrahan, Kecamatan Boyolangu, merupakan lereng Jurang Sanggrahan yang cukup terjal. Berbatasan dengan kebun milik penduduk, kompleks ini dapat dibedakan atas dua bagian, yakni bagian yang sekarang agak datar yang berada di bagian bawah, serta bagian yang terjal di bagian atas. Di bagian pertama itulah terdapat dua buah goa, sedangkan sebuah candi terdapat di bagian kedua.
Ketiga kekunoan tersebut merupakan hasil pengerjaan pada bongkahan batu besar, memenuhi hampir seluruh sisa bagian atas batu. Goa pertama berada di bagian tanah yang relatif datar, merupakan hasil pengerukan terhadap sebuah bongkah batu besar (monolit) dengan bentuk mulut persegi empat sebanyak dua buah. Gua pertama dihiasi dengan relief, sedangkan goa kedua tidak memilki relief. Lahan yang ditempati bongkahan batu bergoa tersebut meliputi areal seluas 29,5 m x 26 m. Ukuran bagian dalam goa pertama adalah: panjang 360 cm, lebar 175 cm, dan dalam ceruk 380 cm. Mulut goa mengahadap ke arah arah barat. Relief dipahatkan pada panel di dinding sisi timur dan utara. Hiasan itu menggambarkan bagian dari cerita Arjunawiwaha, yakni ketika Indra memerintahkan bidadarinya untuk menggoda Arjuna di Gunung Indrakila.
Digambarkan pula adegan ketika bidadari menuruni awan dari kahyangan ke bumi. Gua kedua terletak di bagian selatan dari goa pertama, pada bongkah yang sama, tetapi pada posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan goa pertama. Goa yang di bagian selatan ini menghadap ke selatan dan tidak memiliki hiasan apapun di dalamnya. Ukurannya panjang 360 cm dan lebar 200 cm
Beberapa meter di sebelah timur goa tersebut, pada tempat yang lebih tinggi terdapat bongkahan batu yang dipahatkan kaki dan batur candi berdenah persegi empat dengan ukuran panjang 490 cm dan lebar 475 cm. Dinding batur candi tersebut dihiasi palang Yunani berbingkai bujursangkar.
Latar Belakang Sejarah
Secara khusus tidak dijumpai keterangan yang dapat diacu untuk mengenal lebih dalam lagi latar belakang sejarah situs tersebut. Menghubungkan kesamaan relief yang terdapat di goa Selomangleng dengan yang dijumpai di Petirtaan Jalatunda, A. J. Bernet Kempers menduga bahwa situs tersebut dibuat dan digunakan pada akhir abad X. Sebaliknya, berdasarkan cara pemahatan dan penataan rambut tokoh-tokohnya, Satyawati Suleiman, berpendapat bahwa goa tersebut berasal dari masa awal Majapahit.
Di Tulungagung, relief yang dipahatkan mengambil cerita bagian dari Arjunawiwaha, khususnya pada episode penggodaan bidadari terhadap Arjuna yang sedang menjalankan tapa. Ini mencerminkan kedekatan mereka akan wiracarita gubahan para pujangga sejak zaman Kerajaan Kadiri. Sekaligus untuk mengingatkan mereka akan laku yang sedang ditekuninya, serta harapan bahwa kekuatan yang terkandung dalam kisah cerita tersebut dapat terwujud. [sumber: tulungagung.go.id]
Komplek Candi Dadi berada pada ketinggian 360 m dari permukaan laut, berada di areal kehutanan di lingkungan RPH Kalidawir. Candi ini memiliki candi tunggal yang tidak memiliki tangga masuk, hiasan, maupun arca. Candi tersebut berdiri tegak pada puncak sebuah bukit di lingkungan pegunungan Walikukun. Denah candi berbentuk bujursangkar dengan ukuran panjang 14 m, lebar 14 m, dan tingi 6,50 m.
Bangunan berbahan batuan andesit itu terdiri atas batur dan kaki candi. Berbatur tinggi dan berpenampil pada setipa sisinya. Bagian atas batur merupakan kaki candi yang berdenah segi delapan, pada permukaan tampak bekas tembok berpenampang bulat yang kemungkinan berfungfi sebagai sumuran. Diameter sumuran adalah 3,35 dengan kedalaman 3 m.
Dalam perjalanan ke lokasi ini dapat dilihat sisa bangunan kuna yang masing-masing disebut Candi Urung, Candi Buto dan candi Gemali. Candi-candi yang disebut belakangan dapat dikatakan tidak terlihat lagi bentuknya, kecuali gundukan batuan andesit, itupun sudah dalam jumlah yang sangat kecil yang menandai keberadaannya dahulu.
Latar Belakang Sejarah
Berakhirnya kekuasaan Hayam wuruk juga merupakan masa suram bagi kehidupan agama Hindu-Budha. Pertikaian politik yang terjadi di lingkungan kraton memunculkan kekacauan, seiring dengan munculnya agama Islam. Dalam kondisi yang demikian, penganut Hindu-Budha yang berupaya menjauhkan diri dari pertikaian yang ada melakukan pengasingan agar tetap dapat menjalankan kepercayaan/tradisi yang dimilikinya.
Sebagian besar memilih bukit-bukit atau setidaknya kawasan yang tinggi dan sulit dijangkau. Biasanya tempat baru yang mereka pilih merupakan tempat yang jauh dari pusat keramaian maupun pusat pemerintahan. Candi Dadi adalah salah satu dari karya arsitektural masa itu, sekitar akhir abat XIV hingga akhir abat XV.[sumber: tulungagung.go.id]
Candi Sanggrahan terletak di Dusun Sanggrahan, Desa Sanggrahan, Kecamatan Boyolangu. Secara umum kompleks Candi Sanggrahan terdiri atas sebuah bangunan induk dan dua buah sisa bangunan kecil lainnya. Bangunan induk menggunakan batuan andesit dengan isian bata. Bangunan induk berukuran panjang 12,60 m, lebar 9,05 m, dan tinggi 5,86 m. Bangunan ini terdiri atas empat tingkat yang masing-masing berdenah bujursangkar dengan arah hadap ke barat.
Bangunan kecil yang berada disebelah timur bangunan induk hanya tersisa bagian bawahnya saja. Di tempat ini dulu terdapat lima buah arca Budha yang masing-masing memiliki posisi mudra yang berbeda (demi keamanan arca tersebut sekarang tersimpan di rumah Juru Pelihara).
Bangunan Candi Sanggrahan berada pada teras/undakan berukuran 5,10 m x 42,50 m. Pagar penahan undakan itu adalah bata setinggi tidak kurang dari dua meter.
Latar Belakang Sejarah
Para ahli sejarah menduga bahwa Candi Sanggrahan dibangun sebagai tempat peristirahatan rombongan pembawa jenazah pendeta wanita Budha kerajaan Majapahit bernama Gayatri yang bergelar Rajapadmi. Jenazah itu dibawa dari Kraton Majapahit untuk menjalani upacara pembakaran di sebuat tempat di sekitar Boyolangu. Belakangan abu jenazahnya disimpan di Candi Boyolangu. Dimungkinkan Candi Sanggrahan dibangun pada jaman Majapahit masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk (1359 – 1389 M). [sumber: tulungagung.go.id]
No comments:
Post a Comment